Saturday, March 3, 2012

Ideologi Politik Tak Kuat, Rakyat Makin Melarat


Seorang pejalan kaki melintasi sebuah spanduk bertulisan "KKN Membuat Rakyat Melarat dan Sengsara” di Kawasan Komplek Polda Metro Jaya, Jakarta, (Sabtu 1/10). RANDY TRI KURNIAWAN/RM

"Pemikir, cendikia, idealis dan intelektual berdialog dan bernegosiasi dalam merekontruksi Indonesia. Sebuah harapan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang maju, makmur rakyatnya, dan disegani di percaturan dunia Internasional.."

Jika berbicara mengenai sistem politik, bangsa Indonesia memang memiliki sejarah panjang. Guna mencari ide sistem politik yang baku, sejumlah halangan dan rintangan fluktuatif kerap menghampiri perjalanan penuh liku. Meskipun sejumlah kalangan menilai, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, namun kenyataannya tidak demikian. 

Indonesia disebut negara yang berdasarkan prinsip-prinsip republik/politea yang berjiwa Pancasila dan UUD 1945 sebagai pandangan hidup dan falsafah dasar negara. Namun, dalam pengaplikasinya, Indonesia justru menerapkan sistem Republik Konstitusional, dimana seorang presiden memegang kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Bahkan sistem presidensial itu pun justru kerap membatasi kekuasaan presiden oleh konstitusi dan pengawasan yang efektif dilakukan oleh parlemen. Dengan demikian, pelaksanaan sistem republik berdemokrasi saat ini bisa diaktakan tidak ada yang mencerminkan kedewasaan dalam mengolah negara ini dengan benar.



Tugas pokok lembaga negara

Akan tetapi, mari kita olah lebih jauh mengenai persoalan ini. Pencerminan keburukan demokrasi yang dianut negara ini kurang lebihnya adalah tidak adanya kejelasan mengenai tugas-tugas pokok lembaga negara. Montesquieu, dalam Trias Politica, menyebutkan pembangian tugas lembaga negara menjadi tiga, yakni legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (mengawasi agar semua peraturan ditaati/ fungsi mengadili). Akan tetapi, dalam negara ini, legitimasi amanat dari ketiga lembaga tersebut tidak diterapkan dengan semestinya.

Fungsi dari ketiga lembaga yang tidak berjalan ini justru malah saling menutupi kebobrokan satu sama lainnya. Hal ini merujuk seperti apa yang kita lihat dalam kinerja parlemen. Checks and balances yang merupakan jiwa dari Trias Politica  pun tidak dijalankan oleh parlemen. Tidak adanya pengawasan untuk eksekutif adalah biang keladi utama tidak berjalannya mandat reformasi sekarang ini. 

Di era-reformasi yang mewarisi sistem multipartai juga tidak banyak membawa perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Sistem pemerintahan seperti ini, menurut Aristoteles (384-322 SM) seperti menganut sistem pemerintahan oligarki, yang hanya dikuasai oleh segelintir orang demi keuntungan kelompoknya masing-masing. 

Dalam sistem itu, partai-partai besar yang memimpin dengan jumlah terbanyak dalam pemilu akan mendapatkan mandat ke parlemen maupun ke eksekutif. Hal tersebut justru akan menjadi masalah tersendiri, karena sejumlah kontrak politik antar partai pemenang pemilu untuk bekerja dalam koalisi demi menguatkan pemerintahan.

Koalisi "gendut" itu hanya akan merusak apa yang ada di eksekutif karena kinerja yang dipakai menurut kepentingan golongannya atau partai-partai tersebut sesuai dengan kontrak kerja dan bukan bekerja berdasakan amanat rakyatnya. Belum lagi dengan apa yang dilakukan legislatif di parlemen dengan partanya masing-masing. Mereka juga seperti tidak mendengar suara rakyat dan hanya mementingkan fraksi atau instruksi partainya sendiri tanpa pertimbangan matang terhadap dampak yang akan dialami oleh masyarakat. 

Memang sistem multipartai sebenarnya merupakan sebuah keniscayaan dalam iklim demokrasi yang baik, karena pada hakekatnya partai politik berarti orang-orang yang dipilih ditentukan atas dasar kehendak rakyat (volonte generale) yang duduk sebagai perwakilan di dalam lembaga legislatif. Namun, persoalan itu akan kembali muncul pada sejumlah partai mempunyai kepentingannya masing-masing. Mereka harus mampu mengedepankan gagasan besar serta visioner yang termaktub dalam ideologi dari partai-partai tersebut demi kepentingan rakyat. 

Ideologi tidak kuat

Selain itu, hal mendasar lainnya yang patut dicermati dalam sistem pemerintahan kita adalah tidak adanya ideologi yang jelas dari partai-partai yang ada saat ini. Pada pemilihan umum 1955, partai-partai dibagi dalam tiga kategori, yaitu kebangsaan, agama, dan sosialis. Dari hasil pembagian kategori tersebut, terlihat sangat jelas perbedaan ideologi partai-partai dan membuat gairah perpolitikan untuk kepentingan kemakmuran bangsa semakin hidup. 

Akan tetapi, di era kontemporer saat ini, partai-partai politik justru tidak mencerminkan berjuang untuk rakyat. Dengan tidak adanya ideologi yang kuat, semua partai justru menjadi saling sikut demi meraih kekuasaannya demi kepentingan pribadi. tidak mempunyai ideologi yang kuat. Dengan tidak adanya ideologi partai membuat semakin tidak jelasnya tujuan partai-partai politik untuk membangun Indonesia ke depan.

Para wakil rakyat yang duduk di kursi DPR pun terkesan menggunakan nama rakyat sebagai tameng dalam memperlancar kebohongan publik secara continues. Sejumlah anggota Dewan itu tidak menjadi wakil rakyat, tetapi justru wakil dari partainya masing-masing. 

Salah satu contoh hasil ketidakbecusan sejumlah anggota Dewan itu, dapat kita lihat dari kualitas dan produk legislasi yang dihasilkan. Berdasarkan data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), sepanjang 2011 lalu, dari total 93 UU yang ditargetkan, hanya 21 UU yang berhasil diselesaikan DPR. Apalagi, sejumlah produk legislasi yang dihasilkan juga sangat berbeda dengan prioritas rencana strategis pemerintah dalam perencanaan pembangunan satu tahunan. 

Harusnya sebagai pembuat UU dan juga wakil rakyat, DPR dan pemerintah mampu dapat saling memperbaiki satu sama lain. Jangan memihak kepada golongan tertentu saja demi meraih keuntungan semata. Masyarakat butuh perhatian bukan butuh sekedar janji dari kinerja yang tidak pasti. Kebijakan eksekutif yang tidak berpihak pada rakyat kecil, tidak membuat partai-partai yang duduk di DPR kritis tetapi diam bahkan mungkin berpura-pura tidak tahu. 

Arah tidak jelas

Sejumlah fakta itu menunjukan dampak negatif dari sistem pemerintahan Indonesia yang tidak jelas arahnya. Belum lagi tidak adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif yang tidak jelas, karena masing-masing kedua penggerak roda pemerintahan tersebut telah diikat oleh suatu kontrak politik koalisi. 

Legislatif seharusnya menjaga dan mengkritisi apakah eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dapat bekerja dengan baik atau tidak dalam menjalankan fungsinya. Bukan malah turut serta menjadi follower yang buta terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif. Meskipun Indonesia tidak menerapkan Trias Politica secara murni karena terdapat lembaga eksaminatif atau inspektif (BPK) dan konsultatif (Dewan Penasehat Presiden), bukan berarti hal itu dapat menjadi halangan untuk mencapai keseimbangan pengawasan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Lemahnya kemampuan intelektual dari insan politik dalam memahami fungsi negara dengan baik, tinggal menunggu keterpurukan negara tersebut lebih dalam lagi. Pemimpin Indonesia di era reformasi sekarang ini seperti tidak lagi mengetahui betul apa itu fungsi negara. 

Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menyebutkan, fungsi negara yang utama diantaranya adalah melaksanakan ketertiban umum (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Dalam hal ini, negara bertindak sebagai stabilisator. Kedua, negara juga berfungsi untuk mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. 

Untuk poin kedua bahkan sudah diatur secara jelas dalam UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial yang dimuat dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 yang berbunyi: "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. (3.) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.". Ketiga, menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui sejumlah badan peradilan dengan sejujur-jujurnya. 

Dari ketiga fungsi negara tersebut, terlihat para pemimpin negeri ini belum menjalankan fungsi negara dengan maksimal. Fungsi negara seharusnya tidak digunakan dalam melegitimasi kesewenang-wenangan aparatur negara dalam hubungannya dengan rakyat melalui rekayasa politik.

Sekarang jika kita mencermati kehidupan berpolitik sejumlah elite negeri ini, istilah “kemauan rakyat bukanlah kemauan penguasa.” lebih tepat disandangkan kepada mereka. Sikap mereka tentunya sudah jelas bertentangan dengan demokrasi menurut Abraham Lincoln, bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, bukan justru membuat rakyat semakin melarat... (A. TOMMY PRATOMO)

No comments:

Post a Comment