Sunday, March 18, 2012

Kekuatan Televisi Dalam Jurnalisme


Di Amerika Serikat (AS), pers merupakan kekuatan ke-empat selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini karena pers di Amerika Serikat selalu mengacu pada Konstitusi Amandemen Pertama yang mengatakan bahwa, “Kongres tidak boleh membuat undang-undang tentang keberadaan agama dan melarang kebebasan pelaksanaannya; tidak boleh membatasi kebebasan berbicara, pers, hak berkumpul secara damai, dan hak menegur pemerintah.” Batasan mengenai kebebasan pers di Amerika Serikat memang tidak begitu jelas dan serba ambigu, hal tersebut dikarenakan pemerintah dapat sedikit memberi sensor dan pressure (tekanan) kepada pers dengan alasan untuk menjaga stabilitas nasional. Akan tetapi, pers juga berhak untuk menolak sensor dan pressure tersebut dengan mengacu pada Amandemen Pertama di atas.
Pada masa kolonial, media massa yang digunakan oleh masyarakat Amerika Serikat adalah koran, pamflet, majalah, serta buku-buku. Tahun 1920-an media massa Amerika Serikat berkembang dan makin modern dengan ditemukannya sinyal radio dan stasiun-stasiun radio pun mulai banyak berdiri sebagai bentuk media yang baru. Sebenarnya, teknologi televisi mulai ditemukan sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1924, seorang investor kaya dari Inggris John Logie Baird menemukan teknologi untuk menampilkan gambar atau foto di dalam layar tabung. Lalu, Ernst F. W. Alexanderson, 1878-1975 (seorang kelahiran Swedia, seorang lulusan  insinyur listrik di Amerika Serikat dan juga merupakan perintis televisi yang mengembangkan frekuensi tinggi alternator (alat yang mengubah arus searah menjadi arus bolak-balik) yang mampu menghasilkan gelombang radio yang terus-menerus. Dia juga menciptakan penemuan-penemuan lain dibidang elektrifikasi kereta api, motor dan transmisi listrik, telepon relay, dan listrik penggerak kapal. Tahun 1928 transmisi televisi dari "Alex laboratorium" pertama kali didemonstrasikan pada layar berukuran kurang lebih 2x2 meter dengan bantuan Alexanderson proyektor TV yang ia ciptakan. (Leydoig. “Ernst F. W. Alexanderson: Biography”. http://www.ieeeghn.org/Ernst_F._W._Alexanderson.htm. Di akses pada tanggal 8 Mei 2009, pukul 13.01 WIB) berhasil memasang perangkat televisi pertama di rumahnya pada Januari 1928, akan tetapi penemuan ini belum diproduksi dan dipasarkan secara massal. Selanjutnya, pada tanggal 10 Mei 1928, stasiun WGY menjadi perusahaan broadcast (penyiaran) pertama di Amerika Serikat yang berada di sekitar wilayah Schenectady, New York.  Inilah cikal bakal ditemukannya televisi di Amerika Serikat. Pertama kali televisi diproduksi secara massal pasca Perang Dunia II yaitu sekitar tahun 1948, lalu ditemukannya televisi berwarna pada tahun 1953. Dengan makin berkembangnya teknologi televisi, masyarakat Amerika Serikat semakin mudah untuk mendapat informasi serta berita apapun secara aktual, dan hal itu terus berlanjut hingga tahun 1960-an dimana setiap keluarga memiliki televisi di rumah mereka masing-masing. Pada tahun 1960-an lebih dari 79juta unit TV terjual dan lebih dari 90 persen orang Amerika Serikat mempunyai televisi di rumah mereka masing-masing. Oleh karena itu, pada era inilah produksi televisi mulai mencapai posisi puncaknya. Hal tersebut dapat dibandingkan pada tahun 1948, televisi yang terjual 172.000 unit dan 5juta unit pada tahun 1950.
Sejak tahun 1960-an, televisi merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat. Pada saat berbagai peristiwa penting terjadi di dunia, televisi mempunyai peran besar sebagai penghubung antara peristiwa dengan masyarakat. Penulis mengambil contoh pada saat Perang Vietnam berlangsung, televisi juga ikut mengambil peran untuk memberitakan perang Vietnam kepada publik Amerika Serikat. Pada tahun 1964, televisi mendapat urutan pertama media massa yang paling banyak dipakai oleh masyarakat dengan persentase sebesar 58 persen, 56 persen koran, 25 persen radio, dan 8 persen majalah. Pada tahun 1972, menurut survey Louis Harris (seorang anggota Senat AS), televisi mendapat persentase 64 persen dan surat kabar mendapat persentase 46 persen. Pada tahun yang sama, hasil survey Roper menunjukkan bahwa persentase penggunaan media massa terbanyak ialah 48 persen televisi, 21 persen koran, dan 31 persen media massa yang lainnya.
Terdapat beberapa faktor mengapa televisi menjadi media massa yang paling populer bagi masyarakat AS di tahun 1960-an dan menggeser kedudukan radio serta media cetak, yaitu karena televisi mempunyai beberapa kelebihan seperti:
  1. Televisi menguasai jarak dan waktu, artinya dengan memanfaatkan satelit televisi dapat menyiarkan pesan dan informasinya secara luas dan serentak sehingga sasaran untuk menjangkau massa cukup besar.
  2. Nilai aktualitas televisi terhadap suatu liputan atau pemberitaan sangat cepat.
  3. Dengan kemampuan menampilkan audio visual, menimbulkan daya rangsang masyarakat yang cukup tinggi untuk menikmati berita yang disajikan oleh televisi karena kekuatan suara dan gambar yang dimilikinya.
  4. Informasi atau berita-berita yang disampaikan lebih singkat, lebih jelas dan sistematis sehingga pemirsa tidak perlu untuk mempelajari isi pesan terlalu lama dalam menangkap pesan dalam siaran televisi.
Kelebihan-kelebihan televisi tersebut juga didukung dengan pernyataan dari Skornis dalam bukunya yang berjudul Television and Society; An Incuest and Agenda (1985), “dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Ia merupakan gabungan dari media dengar dan gambar. Bisa bersifat informatif, hiburan maupun pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga unsur di atas. Dengan layar yang relatif kecil diletakkan di sudut ruangan rumah, televisi menciptakan suasana tertentu di mana para pemirsanya duduk dengan santai tanpa kesengajaan untuk mengikutinya. Penyampaian isi atau pesan juga seolah-olah langsung antara komunikator (pembawa acara, pembaca berita, artis) dengan komunikan (pemirsa). Informasi yang disampaikan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat jelas secara visual.” Dari pernyataan Skornis di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memberitakan kondisi perang Vietnam, televisi dapat menampilkan tayangan yang kejam dan “horor”, sehingga publik dapat merasakan sendiri suasana perang di rumah mereka masing-masing. Selain itu, televisi mampu menampilkan kondisi perang dalam bentuk audio visual sehingga penonton merasakan kenyamanan untuk menonton berita tanpa harus membaca tulisan-tulisan seperti di surat kabar. Dalam proses penyampaian berita, televisi lebih cepat sampai dan diberitakan langsung kepada publik Amerika Serikat dibandingkan dengan media yang lain, hal ini dikarenakan televisi mempunyai teknologi dan sistem transmisi serta satelit yang canggih dibandingkan dengan radio atau surat kabar. (Ryfky Eka Putra)

Thursday, March 15, 2012

SEJARAH ORANG CINA DI AMERIKA SERIKAT


Chinese American


Cina selain dikenal sebagai bangsa yang besar dikenal juga sebagai bangsa dengan penyebaran penduduk terbanyak di dunia. Pada tahun 1930 ada lebih dari 8 juta orang Cina meninggalkan Cina dan menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Amerika Serikat. Orang Cina biasanya datang dengan keadaan sangat miskin dan memiliki pekerjaan sebagai pedagang / bankir. Kesuksesan ekonomi mereka sering menyebabkan mereka jadi sasaran kemarahan penduduk negara yang mereka diami, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Amerika Serikat mengeluarkan Chinese Exclusion Act tahun 1882 untuk melarang imigran dari Cina, dan di Indonesia sering terjadi pembantaian etnis Cina, contohnya adalah peristiwa Mei 1998.

Cina sendiri sebenarnya adalah bangsa yang maju. Pada abad 11, Cina sudah mencapai tahap perkembangan ekonomi yang baru dicapai bangsa Eropa pada abad 18. imigrasi besar-besaran dimulai khususnya pada abad terakhir dari Dinasti Ming (abad 17). Orang Cina yang datang ke Amerika Serikat sendiri hampir semua dari propinsi Kwantung di Cina Selatan.

Orang Cina sendiri pertama datang ke Amerika pada sekitar tahun 1848, dimana saat itu terjadi gold rush di California. Orang Cina datang ke Amerika Serikat sebagai buruh kontrak / dengan uang yang dipinjam dari organisasi Amerika-Cina yang jadi pembimbing mereka di Amerika Serikat. Kebanyakan dari para imigran Cina itu dikenal sebagai pekerja keras, khususnya di bidang pertanian, pembuatan rel kereta api Central Pasific yang melewati California dan Pegunungan Sierra menuju Utah, dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya yang tidak mau dikerjakan orang kulit putih. Mereka juga dikenal sebagi tenaga kerja yang murah, mampu menabung dari penghasilan yang sangat rendah itu, dan hidup sangat sederhana.

Jumlah orang Cina di Amerika Serikat makin meningkat bahkan setelah masa gold rush. Tahun 1851 ada 25 ribu orang Cina di California, tahun 1870 jumlah mereka di pantai barat ada 63 ribu orang. Pada 1880 ada 6000 imigran Cina memasuki Amerika Serikat, meningkat dua kali lipat pada tahun 1881, dan meningkat lima kali lipat pada tahun 1882. Dengan jumlah yang makin meningkat itu, pemerintah Amerika mengeluarkan Chinese Exclusion Act tahun 1882 dengan tujuan mengurangi jumlah imigran Cina yang masuk ke Amerika. Pada akhirnya, tahun 1943 Chinese Exclusion Act dicabut setelah Amerika Serikat dan Cina bersekutu menghadapi Jepang dalam Perang Dunia II.

Orang Cina yang datang ke Amerika Serikat sering mendapat sambutan yang buruk, bahkan kekerasan. Alasannya adalah mereka tidak putih dan tidak Kristen. Orang Cina dipandang tidak bisa berasimilasi dan kebudayaan mereka sangat berbeda dengan orang barat lain. Hal paling utama adalah mereka ditakuti karena bekerja lebih lama dan dibayar lebih murah sehingga bisa menurunkan standar hidup buruh. Akibatnya orang Cina dikucilkan oleh serikat buruh, bahkan tahun 1885 seorang buruh Cina yang mencetuskan pemogokan dibantai di Wyoming.

Gangguan yang sering dialami orang Cina adalah pemotongan kuncir panjangnya yang berakibat mereka tidak bisa kembali ke Cina, karena ada aturan dari Dinasti Manchu yang mengharuskan pria memiliki kuncir panjang. Selain itu, ada Chinese Exclution Act pada 1882 yang mengurangi jumlah orang Cina dan menghalangi mereka mendapat naturalisasi menjadi warga negara Amerika Serikat yang berakibat mereka tidak bisa memiliki tanah dan masuk pekerjaan. Akibat dari undang-undang itu terjadi banyak penyelundupan orang Cina, sebagian besar wanita, yang nanti digunakan sebagai pelacur.

Orang Cina kebanyakan hidup dalam komunitas sendiri yang disebut Chinatown. Pemimpin di Chinatown punya kekuatan politik, yaitu dengan menolak memberi pekerjaan dan kredit, sehingga mematikan orang Cina yang berpikiran radikal. Di dalam Chinatown juga ada organisasi rahasia yang biasa disebut Tong. Tong sendiri membagi wilayah khusus untuk pelacuran, perjudian, dan pemakaian opium. Tong sendiri sering masuk surat kabar karena perang antar Tong yang sporadis. Pengaruh dari Tong sendiri terlihat pada kuartal terakhir abad 19, Chinatown juga dikenal sebagai tempat pelacuran, minuman keras, dan perjudian bukan hanya untuk orang Cina, tapi juga untuk orang kulit putih.

Pembatasan imigran Cina secara sepihak menyebabkan tidak seimbangnya perbandingan pria dan wanita Cina di Amerika. Tahun 1890 perbandingannya 27 pria Cina untuk seorang wanita Cina, tahun 1930 perbandingannya masih satu banding empat. Merupakan hal wajar pada saat itu bila ada pedagang-pedangang kaya yang menyembunyikan istrinya dan diusahakan istrinya berhubungan sesedikit mungkin dedngan pria Cina. Masalah sendiri bisa dihindari karena klan tetap kuat. Pedagang Cina yang biasanya jadi pemimpin klan membangun asrama di sekitar tokonya untuk sesama bangsanya dan menyediakan bantuan, sarana, hubungan, dan tempat bernaung. Di tiap kota, klan yang mendominasi biasanya berbeda.
Organisasi saling bantu orang Amerika-Cina bergabung menjadi Chinese Consolidated Benevolent Association alias Six Companies yang berbicara atas nama orang Amerika-Cina secara umum. Tekanan sosial, ekonomi, dan moral dari Klan, Six Companies, dan Tong membuat Chinatown Amerika menjadi sangat tertutup.

Pada awal abad 20 Chinatown mengurus masalah ekonomi imigran yang baru datang dari Cina dan tidak meminta bantuan dari pemerintah Amerika Serikat. Saat kejadian gempa bumi yang menghancurkan Chinatown di San Fransisco dan Great Depression tahun 1930an mereka tidak meminta bantuan pemerintah. Bahkan ditengah sulitnya mendapat pinjaman dari bank tidak dapat mencegah kemapanan bisnis keturunan Cina. Perkumpulan yang memutarkan kredit di Chinatown menjadi lembaga yang sudah lama ada di kalangan orang Cina di selatan Amerika Serikat. Cara ini digunakan sampai tahun 1950an.
Pendidikan orang Amerika keturunan Cina pada tahun 1940 adalah 2% dari semua keturunan Cina berusia diatas 25 tahun, tapi lebih dari 80% masuk ke bidang profesional, terutama sains. Pada tahun 1960 separuh lebih orang Amerika keturunan Cina mempunyai profesi di bidang sains, akuntansi, teknik, perancang bangunan, dan dosen yang kebanyakan mengajar teknik dan ilmu pengetahuan alam. Kemajuan perekonomian ini membuat tempat tinggal orang Cina menyebar, tidak hanya di Chinatown saja dan mereka kebanyakan orang Amerika keturunan Cina.

Saat negara Cina diambilalih kaum Komunis, Hong Kong kebanjiran pengungsi dan banyak pengungsi di Hong Kong itu berhasil masuk ke Amerika Serikat. Imigran ini berbeda dengan sebelumnya. Imigran baru ini tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak mengerti dialek Toishan yang dipakai di Chinatown di Amerika Serikat. Pendatang baru itu sering menimbulkan masalah, terutama menganggu turis yang datang ke Chinatown dan tidak mau bekerja keras, walaupun banyak orang Cina Hong Kong yang terpaksa menerima gaji lebih rendah dari standar dan mendapat jam kerja yang menyalahi aturan. Gangguan terhadap turis menimbulkan gangguan bagi Chinatown, karena turis adalah sumber pemasukan mereka. Akibatnya Tong banyak yang mengancam dan membunuh para Cina Hong Kong yang membuat masalah di Chinatown dan banyak pemimpin Chinatown yang meminta polisi menghukum kaum Cina Hong Kong pembuat onar itu dengan sangat keras.

Orang Amerika keturunan Cina sekarang berpenghasilan lebih tinggi dari orang Amerika umumnya dan punya status pekerjaan lebih tinggi. Hampir satu dari lima keluarga keturunan Cina punya tiga atau lebih anggota yang berpenghasilan, bandingkan dengan satu dari sepuluh orang Indian Amerika dan satu dari enam orang kulit putih. Rahasianya adalah orang Cina lebih banyak bekerja dan mempunyai pendidikan lebih dari orang lain. Sarjana, ilmuwan, dan teknisi timur mempunyai klasifikasi sangat lebih tinggi daripada orang kulit putih dan kulit hitam yang ditunjukkan dengan proporsi orang Timur (keturunan Jepang dan Cina) yang memperoleh gelar Ph.D lebih banyak dan diraih di universitas yang peringkatnya lebih tingi. Selain itu orang timur lebih banyak menerbitkan karyanya dibanding orang kulit hitam dan putih.(Agustinus Yudoandrian)

example of Chinese-American ;-)


Saturday, March 3, 2012

Saat Wasit “Berbisik” dengan Mussolini…

Kapten Italia yang juga kiper, Combi (kiri), bersalaman dengan kapten Cekoslovakia yang juga kiper, Planicka, sebelum partai final Piala Dunia 1934, di depan wasit asal Swedia, Ivan Eklind. Sebelum pertandingan, Iklind bertemu diktator Italia, Benito Mussolini, yang dinilai kontroversial.

Bagaimana perasaan Anda jika melihat seorang wasit sepak bola berbisik dengan diktator terkenal Benito Mussolini? Penasaran apa yang diperbincangkan? Sudah pasti, tentunya. Hal itulah yang mungkin dirasakan sejumlah pemain Cekoslovakia sebelum melakoni partai puncak Piala Dunia 1934 melawan tuan rumah, Italia di Stadion Nazionale PNF, Roma.

Entah apa sebabnya, wasit asal Swedia, Ivan Eklind, yang bertugas memimpin pertandingan tersebut terlihat berada di tribun yang ditempati oleh Mussolini sesaat sebelum pertandingan. Pemandangan “tak wajar” itu lantas membuat sejumlah pemain Cekoslovakia heran, termasuk sang kapten Frantisek Planicka.

Usai pertandingan yang berakhir dengan kemenangan Italia 2-1 lewat perpanjangan waktu itu, tiba-tiba Planicka mengungkapkan kekesalannya. Planicka yang saat itu menjadi pemain SK Slavia Praha menuding adanya persekongkolan antara wasit dan Mussolini dalam pertandingan tersebut.

“Kemenangan kami telah dirampok!  Atmosfer di stadion ini menegaskan hal itu. Eklind ada di tribun bersama Mussolini. Kami tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi kami punya dugaan. Dia menghentikan umpan bersih kami dengan meniup peluit, lalu sering mengabaikan pelanggaran keras,” sesal Planicka usai pertandingan final tersebut.

Ideologi Politik Tak Kuat, Rakyat Makin Melarat


Seorang pejalan kaki melintasi sebuah spanduk bertulisan "KKN Membuat Rakyat Melarat dan Sengsara” di Kawasan Komplek Polda Metro Jaya, Jakarta, (Sabtu 1/10). RANDY TRI KURNIAWAN/RM

"Pemikir, cendikia, idealis dan intelektual berdialog dan bernegosiasi dalam merekontruksi Indonesia. Sebuah harapan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang maju, makmur rakyatnya, dan disegani di percaturan dunia Internasional.."

Jika berbicara mengenai sistem politik, bangsa Indonesia memang memiliki sejarah panjang. Guna mencari ide sistem politik yang baku, sejumlah halangan dan rintangan fluktuatif kerap menghampiri perjalanan penuh liku. Meskipun sejumlah kalangan menilai, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, namun kenyataannya tidak demikian. 

Indonesia disebut negara yang berdasarkan prinsip-prinsip republik/politea yang berjiwa Pancasila dan UUD 1945 sebagai pandangan hidup dan falsafah dasar negara. Namun, dalam pengaplikasinya, Indonesia justru menerapkan sistem Republik Konstitusional, dimana seorang presiden memegang kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Bahkan sistem presidensial itu pun justru kerap membatasi kekuasaan presiden oleh konstitusi dan pengawasan yang efektif dilakukan oleh parlemen. Dengan demikian, pelaksanaan sistem republik berdemokrasi saat ini bisa diaktakan tidak ada yang mencerminkan kedewasaan dalam mengolah negara ini dengan benar.

Friday, March 2, 2012

Nurcholis Madjid dan Pruralisme Islam


Sebagai salah satu cendikiawan muslim yang mempunyai pemikiran kritis tentang pruralisme Islam, membuat nama Nurcholis Madjid cukup disegani di mata masyarakat Indonesia. Tokoh kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 itu sangatlah menjujung konsep pluralisme terutama dalam ajaran agama Islam. Merasa bahwa ajaran Islam di Indonesia tradisional dan tidak modern, membuat pria yang akrab dengan panggilan Cak Nur itu yakin Pruralisme sangat penting untuk diterapkan.

Konsep pemikiran itu didapatkan Cak Nur sejak dirinya masih aktif dalam kegiatan keagamaan saat usianya muda. Tak puas karena menilai konsep ajaran sejumlah pesantren Indonesia yang terlalu tradisional, Cak Nur pun akhirnya rela "melalang-buana" dari satu pesantren ke pesantren lain.

Titik terang pun datang, saat Cak Nur bergabung di Pondok Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur pada 1960. Ia menilai, pondok tersebut merupakan salah satu pesantren yang sangat maju dan moderen. Sejumlah pemikiran Marx, Hegel yang sering dianggap tabu, justru dijadikan dasar pertimbangan santri-santrinya untuk mengembangkan pemikiran baru.

Enam tahun menimba ilmu, Cak Nur kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1965. Cak Nur yang juga aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat itu, kemudian mulai mencoba untuk mengembangkan pemikirannya mealui berbagai tulisan. Ia pun akhirnya meluncurkan buku kecil yang berjudul "Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Buku yang menjadi dasar keislaman HMI hingga sekarang itu ditulis, karena dirinya merasa iri terhadap anak-anak muda komunis di Indonesia yang banyak menggunakan pedoman pemikiran Marx yang bernama Pustaka Kecil Marxis.